Sejarah Ulos

    Menurut suku Batak, panas matahari belum cukup untuk mengikis udara dingin. Alhasil, ulos menjadi salah satu sumber panas bagi suku Batak, selain matahari dan api. Seiring waktu berjalan, ulos bukan lagi seka- dar kain penghangat tubuh. Ulos menjadi kain yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orangtua dan anak-anaknya atau antara satu orang dengan orang lain. Makna tersebut sesuai dengan filsafat Batak, yakni “Ijuk pengihot ni hodong. Ulos penghit ni halong” yang berarti ijuk pengikat pe- lepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang di antara sesama.

    Sesuai dengan hukum alam, ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya men- jadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat ar- tistik.

    Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak sep- erti matahari yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa ke- mana-mana.

“Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik.”

    Lalu ulos memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tet- ua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.

    Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya.

    Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan keten- tuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, seh- ingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang “non Batak”.

    Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.

Sejarah Ulos

    Menurut suku Batak, panas matahari belum cukup untuk mengikis udara dingin. Alhasil, ulos menjadi salah satu sumber panas bagi suku Batak, selain matahari dan api. Seiring waktu berjalan, ulos bukan lagi seka- dar kain penghangat tubuh. Ulos menjadi kain yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orangtua dan anak-anaknya atau antara satu orang dengan orang lain. Makna tersebut sesuai dengan filsafat Batak, yakni “Ijuk pengihot ni hodong. Ulos penghit ni halong” yang berarti ijuk pengikat pe- lepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang di antara sesama.

    Sesuai dengan hukum alam, ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya men- jadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat ar- tistik.

    Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak sep- erti matahari yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa ke- mana-mana.

“Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik.”

    Lalu ulos memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tet- ua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.

    Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya.

    Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan keten- tuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, seh- ingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang “non Batak”.

    Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya.